Perjalanan yang tak pernah usang
Hamdalah, bisa kembali beraktivitas di tanah kelahiran. Diberi kesempatan untuk menikmati ibukota Jakarta, tak dimiliki semua pekerja profesional (red: karyawan). Genap lima tahun, akhirnya “dikembalikan” ke East Java, kalau kata orang “Jowo Wetan” alias Jawa Timur. Masih segar diingatan, ketika teman-teman di pabrik melepas kepergianku ke kantor pusat, sedih. Namun yang pasti kami selalu mendoakan yang terbaik satu sama lain.
Tawaran yang ku terima dari manajemen, adalah bagian dari restrukturisasi organisasi. Ya beruntung masih ditawari, daripada tanpa pekerjaan. Prosesnya memang tak mudah, tapi bersyukur, akhirnya restu itu ku terima, setelah hampir setahun penantian. Meskipun dalam hati bergumam, “semakin lama ditunda, semakin bagus pula”, toh ya aku masih bekerja di tempat yang sama. hehehe
Kata orang, setiap pilihan itu mesti ada rasa “sakitnya”, tergantung masing-masing orang menerjemahkannya. Termasuk aku yang saat itu galau tingkat dewa. Menuju Jakarta, meninggalkan keluarga kecil, orang tua dan sanak saudara, merantau. Selama penantian itu pula perang batin terjadi. Antara iya (ambil kesempatan) atau tidak (tolak saja). Sadar atau tidak, itu adalah buah persepsi individu. Otak manusia memang tak terbatas imajinasinya.
Membayangkan hal belum pernah terjadi, memikirkan sesuatu yang sebenarnya, mereka juga tidak paham akan kemana arahnya. Perdebatan batin selalu muncul, apalagi “ditawarkan” hal baru. Pengembaraan intuisi ini tak lain dan tak bukan, adalah hal yang lumrah alias wajar. Kalau dipikir secara jernih, tawaran berkarir di Jakarta adalah sebuah peluang! Bisa jadi selama ini, ruang kita masih sempit, hanya terbatas di tanah kelahiran saja, sebut saja Jawa Timur.
Ya memang dari awal berkarir sudah “keluar rumah”, tapi masih bisa dijangkau untuk pulang. Paling tidak seminggu sekali, ada kesempatan untuk bersua dengan orang tua dan handai taulan. Kalau ke Jakarta? Mana bisa!!! Asumsi itu akhirnya terbentuk secara alamiah, otak sudah “nyaman” dengan kondisinya. Definisi jauh dari keluarga, ya sebatas itu saja. Begitu ditawarkan hal baru, otak akan menjalankan tugasnya! Ada aksi, ada reaksi.
Puji syukur, hampir sebulan resmi pindah dinas di Jawa Timur. Sebuah angan dan ucapan yang sempat terlontar dari mulutku saat perpisahan dengan teman sekantor saat itu, ya sekitar lima tahun yang lalu. “Aku pergi (ke Jakarta) untuk kembali (ke Jatim)”. Sontak saat itu rekan kerjaku bersorak dan memberikan dukungan, dan yang paling penting, doa.
Beda tempat kerja, beda cara untuk menghadapinya, termasuk urusan transportasi. Di Jakarta, hanya dengan waktu tempuh sepuluh menit dari rumah mengendarai motor, sudah sampai di tujuan alias kantor. Dampaknya adalah bangun tidurnya molor, ngepres dengan jam kantor. Tak perlu susah payah naik kendaraan umum. Kalau kata orang, sekali gas, sampailah di tujuan. Ya sesimpel itu hehehe
Kini dengan jarak kurleb empat puluh kilometer dari rumah ke tempat kerja, perjuangan dimulai dari bangun Subuh. Saat ini sampai pada tahap, otak men-defrag ulang kebiasaan baru saya. Apa yang terjadi? Saat ini saya sedang memikirkan cara tercepat dan terefisien untuk bisa sampai dan pulang dari kantor. Sekarang waktu yang “terbuang” di jalan cukup mencolok. Dua jam perjalanan menuju kantor, dan butuh waktu 3-4 jam untuk sampai di rumah.
Semalam sedang iseng menghitung waktu yang “terbuang” selama perjalanan harian PP. Jika ditotal (dengan asumsi rerata), waktu di jalanan sekitar 5 jam! Dengan total jam kerja sehari 9 jam, artinya 14 jam rutinitas yang saya kerjakan. Sisanya? Tentu saja istirahat dan agenda lainnya. Ada banyak opsi yang saya terima dari rekan seperjalanan, dan patut untuk diperhitungkan. Tak hanya waktu, tapi juga rupiah hahaha
Rutinitas baru ini terasa menantang dan menyenangkan. Sederhana saja, mendengarkan dialog dan percakapan penumpang bus, dialek yang lama hilang lima tahun lamanya. Bahkan awal berkantor di tempat yang baru, aroma “medok”-nya sangat terasa. Intonasi khas Jawa Timur-an sangat mencolok. Guyonannya lepas, gayeng, tak ada sungkan atau ewuh pakewuh, loss aja gitu. Kalau ngobrol kaya orang lagi bertengkar sengit dan adu mulut. Ya begitulah cara bercengkrama wong Jatim. Keras dan ada medok-medoknya. Saya pun sempat tertawa sendiri, bukan geli, tapi kangen saja dengan suasananya.
Satu yang berbeda dengan di ibukota, orang sini gemar mengucapkan terima kasih atau matur nuwun. Setiap turun dari angkutan umum, entah itu bus atau angkutan kota, selalu berucap terima kasih. Begitu juga sebaliknya, kata yang sama terlontar dari crew bus atau angkot. Ya, ini yang tak ku jumpa di Jakarta, kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari. Mau turun dari angkutan saja berebut, lengkap dengan headset yang gede, mirip penyiar radio. Itu sih bukan masalah, hanya beda kebiasaan saja hahahay
Bahkan sesama pelanggan MPU (akr: Mobil Penumpang Umum) saja sudah saling kenal satu sama lain, juga paham masing-masing profesi dari kami. Berbincang tentang keluarga, termasuk alamat rumahnya di mana, ya mirip dengan keluarga. Sehari saja tak jumpa dalam satu armada, satu kata tanya yang biasa terlontar, kemana? Kalau kata orang Jakarta, kepo. Tapi bagi kami, ya biasa saja, toh tak mengurangi apapun dari diri kita. Kedekatan dan pendekatan ini membuat tukar informasi lebih cepat. Berbagi pengalaman (terutama angkutan) sangat berharga bagi saya, maklum, tergolong newbie di sini.
Kebanyakan dari rombongan saya adalah bapak-bapak yang rata-rata putra putrinya sudah bersekolah SMA, bahkan ada yang sudah punya cucu. Dengan usia yang tak lagi muda, semangat berkaryanya masih menggelora. Beliau-beliau ini termasuk saksi hidup ketika lumpur Lapindo “memangsa” sebagian besar Kecamatan Porong. Sudah puluhan tahun menggunakan transportasi umum. Bisa dibilang, sudah sangat kenyang pengalaman. Bahkan bisa jadi, driver yang ada saat ini, sudah berganti generasi.
Metamorfosis angkutan umum di Jatim, terutama Surabaya Malang, mereka adalah narasumber yang tepat untuk digali informasinya. Semoga next chapter, saya bisa merangkumnya dalam satu cerita.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi www.besongol.xyz
Untuk saran dan kritik perbaikan sangat terbuka. Silahkan tinggalkan komentar