Kalau ingin melihat fenomena sosial, datanglah ke terminal. Jika ingin menyaksikan kerasnya perjuangan, silahkan ke terminal. Mau menyaksikan susahnya cari uang, ya monggo ke terminal. Mau lihat orang pulang kerja yang lelah dan capek, di terminal tempat yang pas. Ada banyak profesi di sini. Mengais rejeki di antara pengguna bus yang sedang lalu lalang, hilir mudik, kesana kemari. Nggak sampai setengah jam, terhitung ada tiga pekerja seni yang menghibur, dengan suara penuh harap dan musik yang sedikit tiarap.
Usianya? Gendernya? Lengkap! Bahkan anak belum genap lima tahun, sudah “dipaksa” untuk mengamen. Hitungan setoran, entah itu juragan, atau orang tuanya, tak jelas. Nyanyi sekenanya, ngasih amplop ke setiap penumpang, berharap belas kasihan. Kadang jengkel, melihat emak nya nongkrong di kejauhan, mengamati putra putrinya mengamen. Sungguh sangat disayangkan. Seharusnya di usianya, mereka masih butuh kasih sayang dan pendidikan, tapi apa daya mereka harus membantu mencari nafkah.
Rasa iba dan kasihan mesti ada, namun jangan salah, bisa jadi mereka adalah “senjata”. Do'akan saja, si Kecil berubah nasibnya, bisa bahagia layaknya anak seusianya. Sayangnya seperti Kak Seto yang tenar di layar kaca, atau Arist Merdeka yang gagah perkasa, tak mendapati kondisi ini di terminal. Mungkin karena mereka lebih familiar bandara daripada terminal. Ya bisa jadi.
Pedagang asongan juga naik turun bus silih berganti. Style nya pun beragam. Yang paling ku hafal, jual risol mayo isi ayam. Dialeknya jelas bukan wong Suroboyo. Intonasi dan cara menawarkan pakai nada yang halus, pilihan katanya juga mirip menawarkan makanan ke orang tuanya sendiri. Sopan. Lainnya? Sama saja, layaknya pedagang asongan yang khas dengan suara kencang. Maklum, terbiasa “melawan” deru mesin. Selain itu, ya wajar wong asli Jawa Timur hehehe
Lain halnya dengan penjual kacang. Pool nya hampir istiqomah alias konsisten. Persis menjelang pintu keluar bus antarkota. “Kacang-kacang dua ribuan, tiga lima ribu” ya hanya kata itu saja yang terlontar. Tak dikurang tak ditambah, pas! Bawaannya tak tanggung-tanggung, cukup banyak, sampai setinggi dada orang dewasa. Jadi agar tak menyentuh lantai bus atau tanah, harus diangkat setinggi leher. Capek nggak tuh?
Macemnya cuma dua, kacang dan mete/mede. Senjatanya, gunting kecil. Jarang aku menemui orang beli satu biji, minimal lima ribu. Jari jemarinya terampil, cukup cekatan menggunting jarak antar bungkus dengan telaten. Memudahkan pembeli untuk melahap bungkus demi bungkus, tinggal potek.
Pedagang asongan di terminal Purabaya ini cukup tertib. Mereka menggunakan seragam warna hijau pupus, lengkap dengan nomor punggung. Malam ini, aku mendapati bapak penjual buku mewarnai. Nomor punggungnya 038. Tiga macam buku hanya dihargai sepuluh ribu. Sepintas kulihat gambar tayo si bis kecil. Ku perhatikan dengan seksama, tak satupun penumpang bus yang membeli. Hanya menggumam dalam hati, mungkin anak jaman sekarang mewarnai lewat handphone. Lebih praktis dan lebih ramah lingkungan (karena tak butuh kertas atau pensil warna).
Ternyata setelah menjajakan dagangan di bus yang ku tumpangi, itu adalah penawaran terakhir untuk hari ini. Terpantau si Bapak berjalan kaki di luar pagar pembatas terminal. Sambil menenteng buku dagangannya di tangan kanan, sementara tangan kirinya asyik bermain telepon genggam. Hanya bisa berdo'a, kalau hari ini rejekinya tak sesuai harapan, semoga besok dan seterusnya beliau dimudahkan dalam urusan pekerjaan aamiin
Di jalanan, kita akan melihat fakta. Di jalanan kita juga bisa jadi saksi setiap kejadian. Di jalanan, kita juga bisa menikmati pemandangan. Meskipun secara “layout” panggungnya tak jauh beda, namun lakon dan pelakunya berbeda-beda. Dengan karakteristik yang tentu berbeda juga. Keunikan itulah yang membuat setiap perjalanan terasa wah. Bertemu dengan kondektur atau crew bus setiap hari, membuat sedikit mengerti “kebiasaan” mereka. Ada yang jutek,ada yang murah senyum, ada pula yang ramah. Aktornya mungkin sama, repetitif, namun lain halnya dengan penumpangnya. Majemuk.
Pagi ini contohnya. Ditengah penuhnya penumpang, ibu-ibu lansia asyik ngobrol via telepon genggamnya. Persis setelah menunjukkan KTP dan tujuannya kemana ke crew bus. Telepon mode loudspeaker dengan kerabatnya. Bisa ditebak topik pembicaraannya? Ya tak jauh dari hutang piutang dan membahas saudaranya hahaha. Mbah-mbah, ono-ono wae sampean!
Berikutnya yang menurutku unik, penumpang di sebelah Pak Sopir tiba-tiba menggoyang-goyangkan telepon pintar yang ada di genggamannya. Penasaran, coba mengintip dari balik kaca yang memisahkan bangku depan dan penumpang di belakang, namun tak berhasil, mungkin karena terlalu jauh, dasar kepo! Tapi petunjuk pun datang, tetiba setelah mengocok handphonenya, bunyi dering khas lapak online pun terdengar, ah dasar emak-emak. Rupanya dia asyik main game untuk mendapatkan poin. Menghibur sih. Terima kasih.
Perjalanan memang tak selalu tentang kecepatan dan ketepatan, tapi juga ada cipta, rasa dan karsa! Nikmati perjalananmu, syukuri hari-harimu. Salam dari jalanan Kota Pahlawan.
![]() |
Foto hanya pemanis, Terminal Purabaya, Jatim. |
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi www.besongol.xyz
Untuk saran dan kritik perbaikan sangat terbuka. Silahkan tinggalkan komentar