Langsung ke konten utama

Naik Bus? Bawa Santuy Aja Lurs!

Ada saja kelakuan penumpang bus, entah itu bus kota atau antarkota. Masih pagi, sudah ribut karena salah “terima”. Kondisi penumpang selepas libur Sabtu, Minggu Senin dan Selasa (10-13 Mei 2025) memang terbilang sangat ramai. Pagi itu bus AKDP atau bus kota, jumlah penumpangnya membludak. Tak pelak, demi mengejar waktu, calon penumpang rela untuk berdesakan, yang penting sampai di tujuan, tak terlambat. 

Saat berangkat dari terminal, jumlah penumpang memang dibatasi, tidak terlalu penuh, meskipun satu atau dua orang terpantau tak kedapatan kursi alias berdiri. Area penumpang berdiri memang cukup “longgar”, untuk mengangkut penumpang di halte-halte kecil sepanjang rute tujuan. Jam masih menunjukkan sekira setengah tujuh. Raut wajah para penumpang terlihat ceria setelah libur empat hari lamanya. 

Tiba di halte pertama selepas terminal, pengguna transportasi umum saat itu cukup meriah. Mereka berburu bus yang lewat, sekaligus berpacu dengan waktu, meskipun begitu, awak bus yang bertugas, juga tak serta merta mengangkut seluruh penumpang yang ada. Dibatasi. “Maaf, hanya untuk lima orang ya, silahkan ikut bus dibelakang”, kata-kata yang sampai ku hafal hehehe

Dari sinilah “keributan” kecil dimulai. Penumpang yang berdiri saat ini cukup berjubel. Barang bawaan seperti tas dan helm membuat ruang gerak semakin terbatas. Tetiba bapak-bapak berambut putih dengan nada meninggi, “kalau gak mau kesenggol, jangan naik kendaraan umum!”, “bawa kendaraan sendiri sana, kalau perlu beli pesawat pribadi, biar gak kesenggol-senggol”. Seperti berbicara tanpa jeda. Bapak-bapak yang komplain karena kepalanya terbentur itu hanya diam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. 

“Saya minta maaf kalau memang bapak tersakiti, saya nggak sengaja, kondisi penumpang juga ramai” kembali bapak tua beruban itu menyambung pembicaraannya. “Kalau ada yang luka, sini tak obati, kalau perlu biaya rumah sakit saya yang bayarin” terus saja nyerocos kata-kata si Bapak Tua itu. Aku yang berada beberapa baris dari titik kejadian hanya bisa diam. Hanya mbathin, itu orang kenapa emosinya menjadi-jadi ya! 

Sampai-sampai bapak-bapak yang mungkin seusianya, persis duduk berdampingan dengan saya berucap “wes tuwo kok ngamukan (sudah sepuh kok masih suka marah-marah). Aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar celotehan bapak yang duduk di sebelahku. Tak lama kondektur atau helper yang bertugas, menenangkan bapak sepuh yang emosi tadi. “Sudah Pak, jangan ribut, ini tempat umum”. 

Tak lama berselang pemuda yang duduk persis di TKP bapak tua ngomel, ngasih tempat duduk. “Terima kasih Nak, sudah ngasih tempat duduk” emosi itu seketika redah.

Malam harinya, ceritanya berbeda lagi. Bus yang membawa saya menuju Malang, hari itu cukup sepi. Berbanding terbalik dengan situasi pagi harinya yang sangat ramai. Hari pertama masuk kerja setelah libur empat hari, ya pasti belum ada orang yang pulang kampung! Lengang. Menunggu penumpang satu jam lamanya di terminal, berharap bus bisa terisi penuh. Namun, ekspektasi memang tak selalu selaras dengan kenyataan. Penumpang tak terlalu signifikan penambahannya.

Seperti biasa, kondektur bus mulai narikin ongkos. Satu per satu penumpang di samperin. Bahkan karena ada beberapa penumpang yang berlangganan, sudah saling kenal, termasuk dengan crew bus. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kondektur bus sudah tau, si A si B si C ini turun dimana. Pun begitu dengan penumpangnya, bayar dengan uang pas. Ciri-ciri bus mania hahaha

Sampai di satu titik, entah darimana awal mula pembicaraan tiba-tiba kondektur nadanya sedikit ngegas. “Sampean enak Pak, bayar ongkos, turun, selesai urusan, lha saya?”. “Kalau memang nggak mau nambah dua ribu, ya sudah turun di titik sesuai tarif saja, karena kalau enggak, saya yang didenda” kembali kondektur menjelaskan. “Ada CCTV nya, gajian 150, denda 300, gak mangan aku Pak (gak makan saya Pak)”. Penumpang yang awalnya ngeyel, hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

Pengalaman dompet jatuh di bus AKDP

Ini pengalaman pribadiku, menggunakan moda transportasi umum memang “bukan” pilihan utama banyak orang. Selain jamnya yang tak menentu, dalih efisiensi waktu adalah yang membuat kebanyakan orang lebih memilih kendaraan pribadi. Kondisi kendaraan juga menjadi faktor penentu bagi sebagian orang. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, armada yang jalan cukup mumpuni, bahkan bisa dibilang baru. 

Berbanding terbalik dengan bus AKDP, terutama PO bus yang sudah Malang melintang di jalan aspal Jawa Timur. Body bus tak penyok saja sudah tergolong keren, belum lagi bunyi-bunyi atau suara “misterius” ketika di dalam bus. Terkesan seadanya dan tak dirawat. Namun, sekali lagi, waktu jadi pertimbangan. Kalau mau cepat, ya sudah naik armada seadanya. Pilih yang nyaman, berarti anda merelakan waktu untuk menunggu. Ya itulah pilihan. 

Pengalaman kurang mengenakkan terjadi ketika perjalanan dari Kota Malang. Dompet yang sedari pagi ada di saku celana, tetiba hilang tanpa jejak. Namun, aku sadar kemungkinan besar jatuh di bus yang saya tumpangi. Terakhir kali mengeluarkan dompet, ya ketika bayar karcis bus. Isinya sih tak ada uang, tapi yang terpenting adalah dokumen pribadi. KTP, SIM dan kartu ATM! Semuanya bisa diurus kembali, tapi mesti butuh waktu ekstra. hehehe

Sadar dompet jatuh di bus, bergegas menghubungi nomor yang tercantum di karcis. Ternyata karcis ini punya peran penting sebagai bukti bahwa kita adalah penumpang resmi atas armada yang ada. Ada baiknya simpan dulu karcis yang kita terima, sampai bisa di pastikan semuanya “aman”. Aman dari batang tertinggal atau hilang. Selain pengaduan via WhatsApp, aku coba mencari akun medsos resminya. Beruntung, response via DM IG, ditanggapi dengan cepat (dibanding via WA). Empat jam setelah hilang, hamdalah, dompet dipastikan aman. 

Tepat jam setengah sebelas malam, PO bus mengabarkan via WA, bahwa dompet saya sudah diamankan crew bus, lengkap dengan foto KTP dan dompetnya. Lega rasanya! Surat Keterangan Kehilangan Kepolisian pun kusimpan rapi-rapi. Perut mules dan keringat yang datang mendera hilang begitu saja setelah mendapat berita kejutan itu. Kalau rejeki memang tak kemana, pasti kembali. Syukurlah! 

Emosi bisa saja datang tiba-tiba, hanya karena sedikit "letupan" kecil, entah itu ucapan, senggolan atau bahkan bahasa tubuh. Keramaian memang selalu mengajarkan kita untuk selalu waspada, bijak dan pandai mengelola emosi. Bahkan sengaja atau tidak, terkadang kita lupa bahwa masing-masing dari kita sedang berjuang dengan waktu dan tenaga untuk diri sendiri dan keluarga. Sehat selalu pejuang nafkah! 

"Berkaryalah dengan bahagia"~anonim

#Busmania #AKDP #JawaTimur #Jatim #Cerita #Kisah 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Perjalanan yang tak pernah usang

Hamdalah , bisa kembali beraktivitas di tanah kelahiran. Diberi kesempatan untuk menikmati ibukota Jakarta, tak dimiliki semua pekerja profesional (red: karyawan). Genap lima tahun, akhirnya “dikembalikan” ke East Java , kalau kata orang “ Jowo Wetan ” alias Jawa Timur. Masih segar diingatan, ketika teman-teman di pabrik melepas kepergianku ke kantor pusat, sedih. Namun yang pasti kami selalu mendoakan yang terbaik satu sama lain.  Tawaran yang ku terima dari manajemen, adalah bagian dari restrukturisasi organisasi. Ya beruntung masih ditawari, daripada tanpa pekerjaan. Prosesnya memang tak mudah, tapi bersyukur, akhirnya restu itu ku terima, setelah hampir setahun penantian. Meskipun dalam hati bergumam, “semakin lama ditunda, semakin bagus pula”, toh ya aku masih bekerja di tempat yang sama. hehehe Kata orang, setiap pilihan itu mesti ada rasa “sakitnya”, tergantung masing-masing orang menerjemahkannya. Termasuk aku yang saat itu galau tingkat dewa. Menuju Jakarta, meninggalkan ...