Langsung ke konten utama

Naik bus “jalur bawah” sangat menyiksa!

Selepas libur panjang, terminal Arjosari—Malang—sudah mirip pasar, ramainya minta ampun. Terhitung dari hari Sabtu sampai dengan Senin, kawasan pendidikan dan wisata ini, menjadi jujugan wisatawan. Banyak pelancong luar kota yang datang untuk berkunjung ke destinasi wisata, entah itu Kota Batu atau kawasan pantai selatan. Namun, satu yang tak bisa diacuhkan, pekerja asli Malang yang berkarya di luar Kota Bunga seperti Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan juga cukup banyak! 

Situasi ini membuat terminal Arjosari cukup ramai jika dibanding hari-hari biasa. Orang pulang wisata dan kembali ke tempat kerjanya tumpah ruah sore ini, Senin, 12 Mei 2025. Cuaca yang sedari siang hujan, tak menyurutkan calon penumpang untuk “setia” menunggu bus AKDP yang siap mengantarkan rombongan ke tujuan. Tak pelak, jalur dari arah Ciliwung (dari arah Kota Malang) dan Singosari ke terminal Arjosari, macet di pertigaan Taspen. 

Kawasan pertigaan ini memang kerap menjadi simpul kemacetan baik yang menuju ke Kota Malang maupun keluar. Lokasinya tak jauh dari Kantor Dishub Kota Malang, namun macetnya kadang membuat pening kepala. Sepintas memang seperti biasa, normal adanya. Keluar masuk bus di terminal sangat meriah sore itu. Tampak dua petugas yang mengatur bus yang parkir di area pintu keluar. Ada dua jalur, satu jalur di peruntukan jalur keluar bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) dan satu lajur lainnya untuk armada AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi). 

Dari dua jalur itu, yang tampak “lancar” ya jalur bus AKAP, mereka keluar dengan jumlah penumpang yang “pasti”. Terminal hanyalah tempat transit penumpang yang membeli tiket di agen resmi PO di Arjosari. Jam keberangkatannya pasti, pun demikian titik jemputnya. Namun, dibalik “kenormalan” situasi itu, sebenarnya ada yang sedang harap-harap cemas dengan ketersediaan bus AKDP. Termasuk saya yang sore itu, hendak menuju Kota Pandaan. 

Beberapa orang terlihat bersantai duduk-duduk persis di belakang pos penjagaan Dishub di pintu keluar terminal. Mendapati dua petugas berseragam Dishub saya melempar pertanyaan, “Pak, bus jurusan Pandaan masih ada ya?” tanya saya. “Ada, Mas. Nanti Restu lewat bawah (red: non toll). Saya pun kembali bertanya “Kira-kira keberangkatan jam berapa ya Pak?”. “Tunggu saja, Mas, masih ada kok” bapaknya menjawab. Namun, jawaban yang kedua itu belum membuat saya puas. 

Belajar dari pengalaman, dua minggu yang lalu (sekitar akhir April 2025), di jam dan tempat yang sama, saya harus menunggu sekitar dua jam lamanya untuk mendapat bus yang lewat jalur non toll. Belum ditambah waktu tempuh perjalanan dari Malang ke Pandaan, sekitar satu jam. Total tiga jam waktu di jalan! Padahal jika “normal”, paling lama waktu yang dibutuhkan hanya sekitar satu setengah jam, termasuk naik dan turunkan penumpang. Asumsi itu saya bandingkan dengan kondisi sebelum tol Pandaan-Malang diresmikan. Kondisi itu berbanding terbalik dengan ketersediaan bus via tol Karanglo, hampir setiap lima belas sekali melintas. 

Polemik muncul ketika Surabaya dan Malang terhubung langsung via jalan berbayar alias tol. Trayek bus mulai amburadul tak jelas. Dulu, area-area seperti Porong, Kejapanan, Gempol, Pandaan, Sukorejo, Purwosari, Purwodadi dan Lawang, adalah jalan utama bus AKDP. Seiring berjalannya waktu, penumpang mulai gusar, bahwa mayoritas PO Bus lebih memilih via jalur tol, ketika jam sibuk (jam berangkat dan pulang kerja). Korbannya? Ya calon penumpang pengguna transportasi publik (red: Bus AKDP). 

Banyak diantara pekerja urban yang harus menyesuaikan sendiri. Pembeli adalah raja sudah tak berlaku lagi buat kami. Timbul tanya dari fenomena ini, apakah trayek Patas sama dengan trayek non Patas? Informasi yang saya amati di lapangan, tarif Patas dan Non Patas, terpaut separuhnya. Non Patas, tarif Surabaya Malang dan sebaliknya adalah dua puluh ribu rupiah. Sedangkan bus Patas, tarifnya berkisar empat puluh ribu rupiah! Logika sederhananya, Patas memang pantas melaju via tol dengan tarif dan layanan yang ditawarkan. 

Namun, bagaimana dengan non toll? Tarifnya ada “diskon” 50 persen dari tarif Patas. Jalan yang dilalui sama, via toll panjang, waktu yang dibutuhkan juga sama dengan tarif separuhnya. Lalu apakah izin trayeknya sama? Entahlah, namun informasi tentang trayek ini perlu diketahui publik, agar tidak bias di lapangan. Karena ketidakjelasan atau miss informasi ini yang dirugikan ya calon penumpang bus AKDP, terutama jalur non toll! 

Sebagai informasi tambahan, di Kota Pandaan ada terminal bus tipe A yang dulu juga menjadi kebanggaan warga. Satu-satunya kota kecil yang memiliki terminal dibawah naungan Kementerian Perhubungan. Namun, dengan kondisi saat ini, terminal yang terletak di persimpangan strategis ini mulai ditinggalkan. Salah satunya ya karena tidak semua bus melalui terminal. Ditambah lagi banyaknya bus yang memilih lewat tol panjang. Pertanyaan sederhananya, apakah pendapatan terminal ini tidak menurun? Atau kah memang sudah tidak ada retribusi untuk setiap bus yang melintas? Entahlah.. 

Aspirasi ini sudah kami sampaikan melalui akun resmi Twitter/X (@kemenhub151) dan email ke Kemenhub (email pengaduan (ppid@kemenhub.go.id) untuk mencari solusi bersama. Bukan mencari siapa yang salah dan benar, tapi sesama pengguna transportasi umum, seharusnya mendapatkan pelayanan yang sama, bukan hanya mengambil keuntungan saja, lalu “pejuang” transportasi umum diabaikan. Kalau hashtag #AyoNaikBus ingin populer, cukup sediakan fasilitas yang memadai dan waktu yang pasti, bukan “semaunya” sendiri. 

Jika perlu turba, mengajak ngobrol dengan calon penumpang, untuk mendapatkan informasi yang jelas, tentang keluhan atau masukan. Misalnya, kalau memang trayek bus ini tiada beda antara Patas dan Non Patas, tidak menjadi masalah, mungkin ada alternatif lain, misalnya memperpanjang trayek Bus TransJatim hingga ke Lawang. Karena hingga saat ini, yang terjangkau masih di Area Porong dan Mojokerto. Atau, menggandeng MPU yang saat ini juga mulai ngos-ngosan untuk mendapatkan omset. 

Kami berharap Kemenhub atau pemangku kepentingan mendengar aspirasi dari kami, untuk mendapatkan solusi atas masalah yang kami hadapi. Semoga kedepannya, mendapatkan bus jalur non tol, seperti sedia kala lagi, tak serumit mencari jarum dalam jerami! Terima kasih. 

Tulisan ini dibuat diatas bus Jaya Utama jurusan Wilangun, setelah satu setengah jam menanti. Penuh sesak, bersama ibu-ibu di sebelah mengumpat “Seharian naik kendaraan umum, nyari jurusan Sukorejo saja hampir dua jam, kalau begini mending di rumah saja!”, sudah pasti tau dong efeknya??? hehehe




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Perjalanan yang tak pernah usang

Hamdalah , bisa kembali beraktivitas di tanah kelahiran. Diberi kesempatan untuk menikmati ibukota Jakarta, tak dimiliki semua pekerja profesional (red: karyawan). Genap lima tahun, akhirnya “dikembalikan” ke East Java , kalau kata orang “ Jowo Wetan ” alias Jawa Timur. Masih segar diingatan, ketika teman-teman di pabrik melepas kepergianku ke kantor pusat, sedih. Namun yang pasti kami selalu mendoakan yang terbaik satu sama lain.  Tawaran yang ku terima dari manajemen, adalah bagian dari restrukturisasi organisasi. Ya beruntung masih ditawari, daripada tanpa pekerjaan. Prosesnya memang tak mudah, tapi bersyukur, akhirnya restu itu ku terima, setelah hampir setahun penantian. Meskipun dalam hati bergumam, “semakin lama ditunda, semakin bagus pula”, toh ya aku masih bekerja di tempat yang sama. hehehe Kata orang, setiap pilihan itu mesti ada rasa “sakitnya”, tergantung masing-masing orang menerjemahkannya. Termasuk aku yang saat itu galau tingkat dewa. Menuju Jakarta, meninggalkan ...