Langsung ke konten utama

Semesta Berdaya: Monolog Kersen di Tengah Krisis Ekologis

Masa keemasan dan Nostalgia

Bukannya ingin menyombongkan diri, aku adalah tumbuhan favorit di era tahun 90-an, bahkan hingga awal milenium. Keberadaanku sangat dicari, terutama anak-anak. Mereka harus bersaing dengan kompetitor: burung, unggas dan berbagai satwa lainnya. 

Aku termasuk pohon yang sangat mudah beradaptasi, terbukti aku bisa tumbuh di lanskap apapun—kadang di atas atap sekali pun, aku mampu bertahan hidup. Dari sisa feses hewan pun, aku bisa tumbuh dan berkembang biak. Di mana pun, aku cukup mudah dijumpai. 

Namun, seperti makhluk hidup lainnya, jika aku boleh memilih, aku akan menunjuk tempat yang teduh, dengan suplai air yang melimpah. Konon, buahku sangat dinanti. Dari selentingan kabar yang beredar, ada khasiat istimewa: mencegah penyakit beri-beri.

Konflik Manusia dan Burung

Meskipun mulanya aku bagian dari rantai makanan burung-burung kecil, namun akibat ledakan jumlah manusia, kini habitat burung harus bertarung dengan mereka. Membludaknya populasi manusia, kini membuat mereka semakin dominan di bumi yang mulai menua dan renta. Bagi alam, manusia adalah ancaman serius. 

Tubuh kecil nan ringan, bukan masalah buatku, justru kicauannya ketika bertengger di ranting menjadi hiburan tersendiri. Alunan musik yang indah itu menjadi teman setiaku. Bersahutan, layaknya aku sedang berada ditengah pementasan semesta. 

Koloni, begitu aku menyebutnya. Mereka tak pernah sendiri–selalu berkelompok. Saat itu terjadi, aku merasa banyak kawan. Mereka dengan leluasa mengeksplorasi setiap bagian tubuhku: ranting, daun, bunga dan buah, mereka bisa menikmatinya, meskipun aku sendiri tak bisa.

Kadang aku iri melihat tingkah mereka yang lincah, atraktif dan punya suara merdu. Bisa berpindah-pindah, terbang ke sana ke sini dari satu pohon ke pohon lain. Menikmati setiap sajian alam. Ah, indahnya hidup mereka! 

Semuanya itu tak kumiliki. Aku cuma menjadi pemasok makanan buat mereka. Aku hanya bisa berdiri di atas tanah, tentu dengan berbagai macam kondisi. Beruntung aku tumbuh dan besar di samping aliran sungai yang tak pernah surut. Itulah yang membuat daun, batang dan buahku tumbuh dengan baik dan melimpah. 

Satu-satunya yang bisa kubanggakan dari kehadiranku di bumi. Menjadi rumah bagi berbagai macam hewan, mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan ekosistem sekitarku. Setidaknya, juga bagi manusia yang mampir kemari, membuat mereka nyaman berteduh di bawah dedaunan ku yang rimbun.

Asupan gizi yang baik dari unsur hara tanah serta kandungan air yang murni, membuat otot kecil (red:ranting) begitu kokoh. Kalau hanya puluhan burung pipit yang nangkring di tubuhku, itu semacam lalat yang menempel di kulit sapi, tak terasa.

Tanpa aku memanggilnya, serombongan burung itu silih berganti mampir kesini. Entah sekedar beristirahat karena terlalu capek terbang, atau memang sengaja datang mencari makanan. Bahkan bagi sebagian burung, rantingku adalah tempat terbaik untuk berpijak dan daun sebagai pelindung dari angin dan hujan ketika malam datang.

Buahku memang berukuran mungil. Tapi jangan salah, rasanya manis kalau kulit ariku berwarna kemerahan. Sepanjang tahun, aku menghasilkan buah tanpa kenal libur, kecuali ketika kondisi sekitarku tak mendukung. Misalnya kemarau panjang.

Setidaknya aku tak sendirian ketika malam menyapa. Meskipun ilalang, rumput dan pepohonan ada di sekitarku, namun aku tak bisa memberi manfaat pada mereka. Aku justru senang apabila properti yang ku punya berdayaguna bagi makhluk lainnya. 

Manusia itu serakah, punya standar hidup mewah

Semenjak sekumpulan manusia semakin banyak, saat itu pula burung-burung kecil itu mulai ketakutan. Mereka jarang mengunjungi ku, kalau pun datang, jumlah mereka tak sebanyak dulu. Perlahan kawanan mereka menyusut. Berbanding terbalik dengan jumlah manusia. 

Aku yang dulu hidup di tengah luasnya sawah dan rindang pepohonan, kini semakin bergeser ke tengah pemukiman. Lahan pertanian yang subur itu, dengan cepat beralih fungsi menjadi rumah hunian. Beruntungnya aku tak “dihabisi” mereka. 

Aliran sungai yang dulu melimpah, perlahan mulai berkurang. Mereka memanfaatkan air sungai untuk kolam ikan. Beton dipasang memanjang aliran. Membuat suplai air untuk ku berkurang. Hanya mengandalkan rembesan atau air hujan. Tapi kalau mereka sedang baik hati, aku diberikan minum olehnya.

Mereka sepertinya senang untuk memelihara ku, selain untuk hiburan, juga untuk mengurangi hawa panas yang semakin hari, benar-benar mirip panggangan. Daunku yang lebat dan ranting ku yang cukup banyak, membuat aku mirip “payung” raksasa. 

Eksploitasi terhadapku tak perlu ditanya. Mereka tak segan memotong bagian tubuhku apabila menurut mereka tak perlu. Bahkan, aku kini tak bisa tumbuh tinggi, itu setelah kabel listriknya rusak karena ulahku. Padahal, jauh sebelum ada pemukiman, aku hidup dan tumbuh di lahan ini.

Perlahan, hidupku harus mengikuti cara mereka. Kebebasan menikmati alam semakin berkurang. Air, kebutuhan pokokku kini semakin terbatas. Mereka merekayasa segalanya demi kepentingan golongannya sendiri. Tak peduli dengan sekitarnya. Alam hanya dipandang sebelah mata. Padahal seharusnya aku dan mereka selaras, bukan merasa gerombolannya sendiri yang waras. 

Udara yang dulu sejuk dan segar, kini berubah panas. Bangunan bercokol di mana-mana, sedangkan ruang terbuka hijau cukup terbatas. Pembakaran sisa sampah mereka, menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagiku. Daunku harus bekerja keras untuk mengubah karbon menjadi oksigen, itu semua demi kelangsungan hidup mereka. 

Jarang sekali manusia menyadari, bahwa setiap oksigen yang mereka hirup, adalah hasil kerja keras pepohonan termasuk aku. Manusia memang hanya bisa menghasilkan sampah, tanpa tau cara mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berguna. 

Bahkan pembakaran sampah, dilakukan tepat di bawahku. Asap yang mengepul dan batang pokok ku terluka karena api. Aku hanya bisa diam dengan perlakuan mereka. Betapapun mereka menyakitiku berkali-kali, aku akan tetap menghasilkan oksigen buat mereka. Aku tak bisa membalasnya. 

Iklim dan lingkungan berubah dengan cepat

Perubahan iklim cukup terasa, alih fungsi lahan, aktivitas manusia adalah pemicunya. Entah bahan apa yang mereka pakai, sehingga air yang ku minum mulai berubah rasa, berbau dan yang penting, unsur hara tanah juga tak seperti dulu. 

Akibatnya, aku tumbuh tak sesempurna dulu. Ilalang yang dulu menghiasi permukaan tanah, perlahan mati, tak kuat menahan panas dan minimnya air. Namun peluang terbesarnya adalah pengaruh kualitas air yang keruh dan berbau busuk. Aku mengenalinya ketika fotosintesis yang dilakukan daun ku. 

Air yang mengalir itu mirip racun. Baunya menyengat dan banyak unsur yang tak ku kenali sebelumnya. Aku hampir mati, ketika air yang ku tenggak terasa pekat. Rasanya akarku tak kuat untuk menyedotnya. Beberapa hari aku harus berjuang, agar ranting dan daun tetap bertahan. 

Namun, rontoknya daun tak mampu ku cegah, sebagian besar lepas dari tangkainya–menguning. Rantingku mudah patah, suhu dan usia mempengaruhi daya tahan tubuhku. Dibeberapa titik saja daun bergeming, tapi bagiku itu cukup, untuk melanjutkan hidup.

Sepanjang aku bercokol di sini, baru pertama kali kejadian aneh menimpaku, bahkan hampir membunuhku . Seperti sedang minum racun, dan dipaksa bertahan di tengah udara yang kering. Tak pelak, kini aku semakin ringkih. Sedikit saja angin menerpaku, daun dan reranting  berguguran. 

Aku dibiarkan merana, sendiri di pojok perkampungan. Tumpukan sampah, kini menggantikan rumput ilalang. Dunia berubah semakin kejam, termasuk aku yang mulai merasakan imbasnya. Suhu panas ekstrim, angin tak terbendung kecepatannya, disertai curah hujan tinggi setiap saat datang.

Perubahan panas ke dingin dan sebaliknya,  tanda bahwa alam bisa saja menghabiskan seluruh penghuninya jika mau. Seleksi alam itu nyata, dan aku adalah saksi hidupnya. 

Kini, aku tinggal sebatang tubuh renta yang tak bernyawa. 

Nafasku terhenti, ketika sampah dibakar dengan api yang berkobar, tak menyisakan satu pun daun. Sejak saat itu akarku memutuskan menyerah dan tak mampu memberikan suplai makanan ke seluruh bagian tubuhku.

Satu yang kuingat, manusia kecil itu merengek sambil menangis ke gerombolannya, “Tolong jangan bakar sampah di situ, aku mau buahnya”. Tetapi sepertinya tak mempan membujuknya. 

Tak semestinya manusia bertindak seenaknya sendiri, mereka butuh alam, agar tetap berdaya. Bukan sebaliknya, merasa berkuasa, dan alam tiada henti diperkosa. 

-Aku kersen-


Purabaya, 08 Oktober 2025

Di atas bus restu Panda 19:03


Istimewa: Kenitu on Camera


Sebuah pohon kersen di tepi sungai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Bekal yang Tertinggal, Hati yang Pulang

Nasi bungkus Pagi masih belum disapa mentari sempurna, masih gelap, redup, sepi. Namun, jalan sudah basah, padahal semalam tak turun hujan. Persis di tikungan jalan keluar kampung. Ternyata penjual nasi-lah yang menyiram. Memang tepat di belakangnya mengalir sungai yang cukup jernih dengan debit air yang melimpah. Meskipun sudah memasuki kemarau, tapi hujan tak pernah sungkan untuk datang. Orang bilang saat ini sedang “kemarau basah”. Kadang untuk memilih nama saja, kita kesulitan. Jangankan hati, bahasa saja orang tak sanggup menerjemahkan!  Pagi ini terburu-buru untuk berangkat, tapi setidaknya aku masih bisa menikmati sunyinya Subuh. Emakku sedang asyik mengajakku ngobrol, sampai lupa bahwa elf yang akan membawaku ke kota pahlawan, lima menit lagi akan berangkat.  Arloji yang melingkar di tangan kiriku seolah tak kenal kompromi dengan waktu. Tak pernah molor, tak juga dipercepat, pas! Arloji tak pernah ingkar janji, kecuali baterainya minta ganti atau waktunya diisi.  ...