Perjalanan yang tak pernah usang

Gambar
Hamdalah , bisa kembali beraktivitas di tanah kelahiran. Diberi kesempatan untuk menikmati ibukota Jakarta, tak dimiliki semua pekerja profesional (red: karyawan). Genap lima tahun, akhirnya “dikembalikan” ke East Java , kalau kata orang “ Jowo Wetan ” alias Jawa Timur. Masih segar diingatan, ketika teman-teman di pabrik melepas kepergianku ke kantor pusat, sedih. Namun yang pasti kami selalu mendoakan yang terbaik satu sama lain.  Tawaran yang ku terima dari manajemen, adalah bagian dari restrukturisasi organisasi. Ya beruntung masih ditawari, daripada tanpa pekerjaan. Prosesnya memang tak mudah, tapi bersyukur, akhirnya restu itu ku terima, setelah hampir setahun penantian. Meskipun dalam hati bergumam, “semakin lama ditunda, semakin bagus pula”, toh ya aku masih bekerja di tempat yang sama. hehehe Kata orang, setiap pilihan itu mesti ada rasa “sakitnya”, tergantung masing-masing orang menerjemahkannya. Termasuk aku yang saat itu galau tingkat dewa. Menuju Jakarta, meninggalkan ...

Semilir Angin di Tanjakan Tiga Belas

Senja sore masih sedikit membias, ditengah padatnya lalu lintas. Temaram, sejurus sang surya perlahan mulai tenggelam. Klakson berdentingan, mirip lagu yang tengah digubah orchestra, sedikit kacau karena tak ada sang empunya. Jakarta, setiap Jum'at selalu grusa-grusu, seperti ada yang dirindu.

Lampu masih merah, namun tak sabar ingin serobot saja. Satu..dua..tiga..gas poll! Motor semburat layaknya pembalap di lintasan, ngacir! Belum lagi yang nyelonong memotong jalur yang tak semestinya, emosi pun membuncah, sial! Drama yang tersaji hampir disetiap sore tiba, di Ibukota.

Beruntung sore itu lalin cukup "lengang" kata temenku. Padahal padat merayap, hampir tak ada cela, tapi jalan terus. Masih kata dia, biasanya jalur yang kami lalui ini langganan macet, mampet, yang bikin muka sedikit pucat, berharap "parkir" berjamaah dijalanan segera terurai. 

Coba tengok kanan kiri, lalu lintas memang tak ada beda, dari arah berlawanan justru cenderung macet, mungkin banyak pekerja yang mulai bergeser ke pinggiran kota, ya pulang kerja, gumamku. Sore itu tujuan kami memang ke pusat kota. Plasa Kuningan, begitu kata teman millenial 😅

Ada satu kafe yang lagi rame diperbincangkan, KOBAin caffe! Kafe yang terletak di Plasa Kuningan ini lagi digandrungi gen-Z. Konsep kafe roof top ini ternyata ada live music nya lho. Ada yang menyebutnya kafe Tanjakan 13, lho kok bisa?

Ternyata kafe Tanjakan 13 ini berada di area parkir, sepoi-sepoi angin begitu kerasa, kelap kelip lampu kota terpampang begitu nyata di depan mata. Jakarta yang penuh gedung tinggi otomatis dipasang lampu safety warna merah, berkedip-kedip di sana sini. Udah mirip kunang-kunang, bedanya ini berwarna merah! 🤣

Warna warni lampu menjadi pemandangan "istimewa" di Ibukota. Malam itu udara cukup bersahabat, cerah! Hasilnya kami dapat menikmati "atraksi" lampu perkotaan. Bahkan satelit alami bumi juga terlihat begitu indahnya, sayangnya belum masuk purnama atau masa bulan penuh, hanya sebahagian saja 😀

Untuk menunya standar kafe pada umumnya. Cemilan yang kami pesan semalam, kentang, dimsum, sosis dan orak arik telur. For your information, di KOBAin kafe tak menyediakan makanan berat, sebangsa nasi goreng, soto ayam, atau pun Nasi Padang 🤣

Pencahayaan di "hall utama" mirip di Pendopo Lawas, Yogyakarta, redup nan sendu. Diluar hall, beberapa meja, kursi dan tenda terpasang. Ada juga sofa untuk bersantai namun jumlahnya terbatas, cuma tiga. Ayunan siap ditumpangi, tapi cuma muat dua orang. Saran saja, cukup buat selfie dan silahkan pindah 😅

Boleh dicoba mampir ke sini. Menikmati semilir angin di ketinggian Jakarta, KOBAin Caffe!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Pandu

Angon