Langsung ke konten utama

Semilir Angin di Tanjakan Tiga Belas

Senja sore masih sedikit membias, ditengah padatnya lalu lintas. Temaram, sejurus sang surya perlahan mulai tenggelam. Klakson berdentingan, mirip lagu yang tengah digubah orchestra, sedikit kacau karena tak ada sang empunya. Jakarta, setiap Jum'at selalu grusa-grusu, seperti ada yang dirindu.

Lampu masih merah, namun tak sabar ingin serobot saja. Satu..dua..tiga..gas poll! Motor semburat layaknya pembalap di lintasan, ngacir! Belum lagi yang nyelonong memotong jalur yang tak semestinya, emosi pun membuncah, sial! Drama yang tersaji hampir disetiap sore tiba, di Ibukota.

Beruntung sore itu lalin cukup "lengang" kata temenku. Padahal padat merayap, hampir tak ada cela, tapi jalan terus. Masih kata dia, biasanya jalur yang kami lalui ini langganan macet, mampet, yang bikin muka sedikit pucat, berharap "parkir" berjamaah dijalanan segera terurai. 

Coba tengok kanan kiri, lalu lintas memang tak ada beda, dari arah berlawanan justru cenderung macet, mungkin banyak pekerja yang mulai bergeser ke pinggiran kota, ya pulang kerja, gumamku. Sore itu tujuan kami memang ke pusat kota. Plasa Kuningan, begitu kata teman millenial 😅

Ada satu kafe yang lagi rame diperbincangkan, KOBAin caffe! Kafe yang terletak di Plasa Kuningan ini lagi digandrungi gen-Z. Konsep kafe roof top ini ternyata ada live music nya lho. Ada yang menyebutnya kafe Tanjakan 13, lho kok bisa?

Ternyata kafe Tanjakan 13 ini berada di area parkir, sepoi-sepoi angin begitu kerasa, kelap kelip lampu kota terpampang begitu nyata di depan mata. Jakarta yang penuh gedung tinggi otomatis dipasang lampu safety warna merah, berkedip-kedip di sana sini. Udah mirip kunang-kunang, bedanya ini berwarna merah! 🤣

Warna warni lampu menjadi pemandangan "istimewa" di Ibukota. Malam itu udara cukup bersahabat, cerah! Hasilnya kami dapat menikmati "atraksi" lampu perkotaan. Bahkan satelit alami bumi juga terlihat begitu indahnya, sayangnya belum masuk purnama atau masa bulan penuh, hanya sebahagian saja 😀

Untuk menunya standar kafe pada umumnya. Cemilan yang kami pesan semalam, kentang, dimsum, sosis dan orak arik telur. For your information, di KOBAin kafe tak menyediakan makanan berat, sebangsa nasi goreng, soto ayam, atau pun Nasi Padang 🤣

Pencahayaan di "hall utama" mirip di Pendopo Lawas, Yogyakarta, redup nan sendu. Diluar hall, beberapa meja, kursi dan tenda terpasang. Ada juga sofa untuk bersantai namun jumlahnya terbatas, cuma tiga. Ayunan siap ditumpangi, tapi cuma muat dua orang. Saran saja, cukup buat selfie dan silahkan pindah 😅

Boleh dicoba mampir ke sini. Menikmati semilir angin di ketinggian Jakarta, KOBAin Caffe!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Bekal yang Tertinggal, Hati yang Pulang

Nasi bungkus Pagi masih belum disapa mentari sempurna, masih gelap, redup, sepi. Namun, jalan sudah basah, padahal semalam tak turun hujan. Persis di tikungan jalan keluar kampung. Ternyata penjual nasi-lah yang menyiram. Memang tepat di belakangnya mengalir sungai yang cukup jernih dengan debit air yang melimpah. Meskipun sudah memasuki kemarau, tapi hujan tak pernah sungkan untuk datang. Orang bilang saat ini sedang “kemarau basah”. Kadang untuk memilih nama saja, kita kesulitan. Jangankan hati, bahasa saja orang tak sanggup menerjemahkan!  Pagi ini terburu-buru untuk berangkat, tapi setidaknya aku masih bisa menikmati sunyinya Subuh. Emakku sedang asyik mengajakku ngobrol, sampai lupa bahwa elf yang akan membawaku ke kota pahlawan, lima menit lagi akan berangkat.  Arloji yang melingkar di tangan kiriku seolah tak kenal kompromi dengan waktu. Tak pernah molor, tak juga dipercepat, pas! Arloji tak pernah ingkar janji, kecuali baterainya minta ganti atau waktunya diisi.  ...