Langsung ke konten utama

Jajanan, Sepeda, dan Angkot: Puzzle Kehidupan Kota Surabaya

Tiba-tiba pikiranku terusik, entah berapa kali beliau melintas. Aku yang sedang main gawai sambil menunggu bus yang membawaku ke tujuan, “Aqua-aqua, minum dingin” dengan nada sedikit melemah, malu rasanya kalau waktu ini hanya dihabiskan untuk scrolling medsos yang tiada henti beritanya. Kadang berulang, kadang hanya repost, kadang ya hanya sekedar tangkapan layar dijadikan konten. 

Pemandangan ini lumrah di terminal terbesar di Jawa Timur, Purabaya. Kondisi yang mungkin tak pernah Anda temui di stasiun atau bandara. Bagi generasi baby boomer dan milenial, situasi layaknya malam ini, masih sempat dirasakannya di berbagai stasiun. Bahkan, pedagang asongan kala itu bebas hilir mudik untuk menjajakan dagangannya sepanjang perjalanan hingga kereta tiba di tujuan.

Uniknya, setiap stasiun menawarkan menu dan jajanan yang berbeda. Pemandangan yang dulu sempat “populer” dan kini mungkin tak terulang, karena waktu dan “lakonnya” berbeda. Namun, bukan mustahil reka adegan masa lalu kembali “dihidupkan”untuk mendukung ekonomi warga lokal, tentu dengan aturan main yang jelas, agar gelaran jajanan dan makanan tempo doeloe bisa dinikmati di atas kereta dengan nyaman, aman dan tertib, layaknya yang terjadi sekarang.

Jadi selama perjalanan, penumpang tak hanya disuguhi pemandangan alam kanan dan kiri saja, sesekali menghadirkan “hiburan tak biasa” di atas gerbong. “Jajanan khas daerah, kini bisa Anda nikmati di atas kereta”, “Kamu pernah merasa perjalanan jauh itu membosankan? Tenang, kini hadir pesta jajanan rakyat di Kereta Jarak Jauh, Gajayana”. Misalnya ya, kata-kata tadi hanya perumpamaan, syukur-syukur suatu saat direalisasikan. 

Hampir setengah jam di koridor tujuan Malang, bus tak beranjak. Hanya lalu lalang pedagang dan pengamen yang silih berganti lewat di depan kami. Bahkan pedagang yang sama terhitung tiga kali naik turun bus yang ku tumpangi. Dengan tangan kiri menyangga beraneka ragam cemilan, dan tangan kanan menggenggam “barang display”. Layu kulitnya tak bisa mengelak, namun tidak dengan semangatnya. Berapa kali pun lewat, tetap saja ditawari. Harapannya satu, barang dagangan bisa laku dan berdoa penumpang yang tadinya menolak, berubah pikiran, membelinya. 

Kalau Anda merasa sudah paling lelah di dunia, coba lihat pejuang rupiah di sini. Koin demi koin mereka kumpulkan, lembar demi lembar dengan sabar mereka nanti, berharap ada rezeki dari penumpang. Drama begitu banyak di lingkungan seperti terminal, yang layak diabadikan. Untuk merawat ingatan, bahwa lakon setiap orang itu berbeda. Warna itu memang diperlukan untuk menjadi lukisan yang indah, lukisan kehidupan yang selalu berulang dengan waktu dan lakon yang berbeda. Tugas manusia hanya menjalani, sambil merenung, untuk apa kita dicipta. 

—--------------

Senyumnya mengembang, meskipun kerutan wajahnya tak bisa dihindarkan. Tak ada seragam rapi, hanya kaos oblong, celana tiga per empat serta topi hitam melekat begitu saja di kepala. Sandal jepit yang mulai memudar warnanya, setia menemani kedua kaki untuk mengayuh pedal ke tempatnya berkarya. Sepeda jengki kelir merah muda pun tak pernah absen untuk mengantarnya, keranjang di depan kemudinya multifungsi, bisa untuk menaruh tas berisi peralatan kebun dan bekal makanan. Sepeda angin itu melaju di antara lalu lalang motor dan mobil. Melenggang dengan tenang tanpa suara, meluncur perlahan tanpa sedikit pun tertahan.

Meski tegap tubuhnya tak seperti masa muda, namun semangatnya tetap membara, tak sedikit pun meredup, untuk menjawab tantangan hidup. Ia tahu, bahwa hidup tak untuk ditantang, tapi diusahakan. Warna bisa saja pudar, air pun sama, bisa menguap kapan saja, bukan menghilang, namun hanya berubah wujud, dan itu adalah kodrat alam, keniscayaan yang tak bisa dihindarkan. 

Senyum adalah ibadah sederhana yang bisa dilakukannya, selain do'a yang selalu ia panjatkan. Ia sadar, bahwa hidup tak ubahnya dengan buih dan debu. Sejatinya, keduanya sama. Buih akan terombang-ambing bersama debur ombak yang dipicu oleh angin, pun begitu dengan debu, akan melayang kemanapun angin membawanya. Tak terlihat, tak ada bentuk fisik, namun angin mampu membawa apapun yang ia kehendaki. Angin adalah simbol ketenangan, tanpa suara, tapi ia ada untuk membawa kebermanfaatan. 

—--------------------

Tubuh kecilnya tersamarkan dengan jarik dan jaket yang sedikit kedodoran. Langkahnya tegas, tak sedikitpun membungkuk. Kerudung dan masker, semakin menyamarkan wajah yang sesungguhnya. Kacamatanya tebal, tertahan oleh hidungnya yang mancung. Sekelebat. Namun, justru itu yang membuatku penasaran. Memakai sepatu khas wanita, ujungnya lancip, tapi tanpa hak, kaos kaki panjang warna hitam membalut kedua kakinya. 

Begitu cepat melangkah, hingga hanya bisa meliriknya. Sekelebat saja lewat di depanku yang sedang menunggu angkutan kota. Sudah satu jam, armada buruanku selalu full. Mentari yang semula terang, perlahan mulai pulang ke peraduan. Lampu pusat perbelanjaan warna-warni mulai menggantikan jingga surya di sore hari. Kondisi jalan mulai padat, mirip Bundaran HI. Bozem yang ternyata ditengahnya ada kolam itu, menjadi daerah terpadat. Diperparah jalur masuk mall yang memotong jalan arah ke toll. Menumpuk, berbaris, saling klakson. Ruwet. 

Canggihnya layanan transportasi massal di Kota Pahlawan ini, sudah bisa dipantau secara real-time. Jadi calon penumpang tak perlu tergesa-gesa, tinggal mengatur jadwal saja. Disamping, harus paham kondisi traffic kalau sore, bersamaan dengan waktu bubaran kantor. Bagiku, setiap orang yang sedang memantau pergerakan armada angkot, itulah “musuh”. Bersaing yang sehat demi keselamatan bersama hehehe

Mendadak wanita yang sempat kulihat tadi, datang kembali. “Betul di sini tempat halte Angkot?” wanita itu bertanya, ketika aku sedang serius memantau pergerakan angkot. Sudah sejam tak kunjung terangkut, kaki mulai pegal-pegal berdiri lama. “Ya betul Bu, mau kemana?” balik aku bertanya. “Saya mau berangkat kerja” sembari membuka masker yang menutupi mulut dan hidungnya. Ternyata wanita itu seorang nenek-nenek. Cukup terkejut sih, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. 

“Saya berangkat dari Kediri tadi pagi Mas, saya mau ke Sumur Welut, kira-kira saya bisa naik apa ya?” kembali nenek bertanya. “Saya kurang paham Bu, coba nanti saya bantu tanyakan ke petugas angkot ya. Ibu mau kerja di pabrik kah?” tanyaku menelisik. “Saya kerja mengasuh Batita, Mas. Dari lebaran kemarin saya sudah masukkan permohonan, tapi baru di panggil sekarang, uang saya tinggal lima belas ribu, kalau misal naik ojek online berapa ya ongkosnya?” kembali nenek melempar tanya. 

Aku yang setengah tertegun, bergegas meng-iya-kan permintaan sang nenek. Sembari memonitor angkot yang lewat. “Tenang Mas, nanti saya kasih tau kalau ada angkot yang lewat” menenangkanku karena konsentrasi ku sedang terbagi. Setelah tau tarifnya, ternyata uang yang dimiliki si nenek kurang. “Mau kapan lagi kamu bersedekah, Bro?” dalam hatiku berontak. Bergegas saja ku isi saldo GoJek, agar si nenek tak larut malam sampai di tujuan. Namun, baru mau klik pesan sekarang, angkot jurusan Sumur Welut melintas. 

“Saya naik ini saja Mas” Nenek berpamitan. Helper yang masih belia itu turun bersamaan penumpang lainnya. Hanya dua orang, sementara yang naik tiga orang. Wanita renta itu akhirnya duduk di kursi helper, sementara mas-mas asisten sopir ini lesehan di lantai angkot. Pemandangan yang tak pernah ku temukan selama menggunakan jasa angkutan massal di Kota Surabaya ini. Semoga selamat sampai tujuan Nek, kesehatan selalu menyertai dan selamat berjuang di Kota Pahlawan. Banyak orang bilang, usia hanyalah angka, sisanya adalah ikhtiar dan doa. 

—Berbuat baik itu tak perlu pikir panjang, cukup bertindak dengan cekatan dan tanpa paksaan–


Gambar hanya ilustrasi, dibuat menggunakan MetaAI via WhatsApp

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Bekal yang Tertinggal, Hati yang Pulang

Nasi bungkus Pagi masih belum disapa mentari sempurna, masih gelap, redup, sepi. Namun, jalan sudah basah, padahal semalam tak turun hujan. Persis di tikungan jalan keluar kampung. Ternyata penjual nasi-lah yang menyiram. Memang tepat di belakangnya mengalir sungai yang cukup jernih dengan debit air yang melimpah. Meskipun sudah memasuki kemarau, tapi hujan tak pernah sungkan untuk datang. Orang bilang saat ini sedang “kemarau basah”. Kadang untuk memilih nama saja, kita kesulitan. Jangankan hati, bahasa saja orang tak sanggup menerjemahkan!  Pagi ini terburu-buru untuk berangkat, tapi setidaknya aku masih bisa menikmati sunyinya Subuh. Emakku sedang asyik mengajakku ngobrol, sampai lupa bahwa elf yang akan membawaku ke kota pahlawan, lima menit lagi akan berangkat.  Arloji yang melingkar di tangan kiriku seolah tak kenal kompromi dengan waktu. Tak pernah molor, tak juga dipercepat, pas! Arloji tak pernah ingkar janji, kecuali baterainya minta ganti atau waktunya diisi.  ...