Suasana pagi itu tak terlalu cerah. Mendung tipis menghalangi mentari pagi, sendu begitu orang kebanyakan menyebutnya. Meskipun udara pagi terasa begitu dingin, namun sebagai “pekerja keras”, dilarang kendor untuk menjemput rejeki. Nyaris tak ada yang istimewa dengan hari sebelumnya. Diantara sekian banyak penumpang di pagi hari, 20-40 persennya adalah orang yang sama, repetitif. Namun inilah yang membuat istimewa. Guratan cerita akan selalu ada tersimpan rapi di ingatan. Termasuk pagi ini di atas bus kota.
Ada kebiasaan sederhana yang bisa diamati selama perjalanan singkat di dalam bus kota. Hadirnya TWS atau headset nirkabel, membuat muda-mudi sekarang lebih memilih “menyumpal” telinga, daripada ngobrol dengan sebelahnya. Tak sedikit juga yang scrolling layar smartphone mereka, sekedar menikmati algoritma sekian, entah itu medsos atau portal berita. Namun dari sekian kebiasaan, ada satu kebiasaan yang menjadi perhatian, berdzikir.
Ibu-ibu berjilbab itu naik dari halte yang sama setiap pagi, dengan waktu yang konsisten. Meskipun tak setiap hari bertemu, namun kebiasaan yang berbeda itu membuat mudah untuk diingat. Cincin dzikir warna biru itu melingkar di jari tengah tangan kanan. Komat-kamit mulutnya sepanjang perjalanan, namun sesekali ia mengintip gawai yang juga ada digenggaman. Berdzikir sambil bermain handphone, apa salahnya?
Tak terasa,bus telah sampai di terminal transit, armada berikutnya (estafet) yang ku tumpangi langsung penuh. Namun, tak serta merta angkot kelir putih itu ngeloyor pergi, harus menunggu aba-aba dari mandor terminal. Mereka (red:armada dan crew) sudah terikat kontrak dengan waktu, meskipun menurutku, itu adalah masalah. Armada penuh, tapi masih harus ngetem karena waktunya belum tiba. Dari pemberhentian hingga kecepatan, terpantau! Jadi jangan coba macam-macam, kalau tak ingin “ngandang”, begitu yang pernah ku dengarkan.
Jarak antara armada satu dengan yang lainnya harus terjaga, tak boleh terlalu dekat, tak boleh pula terlalu jauh, nanti ada yang mengadu. Teknik mengendara pun menjadi tema dalam briefing, bisa dibilang positioning. Tak boleh terlalu ke tengah (karena jauh dari halte), tak boleh juga terlalu ke kiri (karena menghalangi jalur sepeda), semua harus pas. Kalau pun tak pas ya karena faktor di luar kendali, kepadatan atau laka.
Seperti pagi ini. Penumpang sudah penuh dari terminal transit, namun harus menunggu sekitar sepuluh menitan agar tepat waktu. Ya sudahlah, namanya angkutan umum. Begitu berangkat, ternyata si sopir taat SOP. Muda tak menjamin ugal dan cengkal. Kecepatan terjaga di angka empat puluh kilometer per jam, meskipun jalan di depan sepi melompong. Namun patut bersyukur, pemandangan tak biasa ku temui.
Lampu merah membuat kendaraan berhenti dan mengantri, tiba-tiba dari sisi kiri, pemuda berboncengan mengendarai supra lansiran awal 2000’an. Di tengahnya seperti mesin kompresor warna biru dipangku oleh sang penumpang. Dari gesturenya mereka sedang intim bergurau. Helmnya tak ada kaca pelindung, sudah mirip melon, baik pengemudi maupun penumpangnya. Sesekali tangan kawan di belakangnya menimpuk dengan pukulan ringan. Seketika debu yang menempel di helm warna orange pudar itu kabur, yang tertinggal hanya jejak jari jemari. Kaos hitam yang dikenakan bertuliskan “Nusantara Fighter” dengan logo yang mulai kumal.
Namun ku kira cerita hari ini usai, namun pemandangan tak biasa terpampang jelas di depan mata. Dibalik telpon di depan lift berbisik lirih seorang lelaki yang tak lagi muda “di akta lahir kan tertulis putra dari seorang ibu, bapaknya kan nggak ditulis” Sekelumit pembicaraan yang tak sengaja ku dengar. Gedung perkantoran sepi, si empu sedang makan siang. Lorong yang memang sengaja dibiarkan terbuka itu, membuat desiran angin kota leluasa keluar dan masuk bangunan lantai sembilan. Seketika itu pula rambatan suara terdengar begitu nyaring di telinga.
Pria bertopi yang membawa sekarung berkas dan barang paket itu nampak tak bergegas dari area lift. Tombol naik turun tak dipilihnya. Ia lebih memilih mematung, berdiri, dalam sunyi. Topinya tampak basah di beberapa sisi, lengannya yang kekar itu berbasuh peluh, seragam “kebanggaan”nya pun tak luput dari guyuran keringat siang itu. Hampir tak ada celah.
Terminal memang tempat umum dengan segala kemajemukannya. Manusia dengan latar belakang apapun berkumpul jadi satu di sini. Beragam profesi mudah dijumpai, terutama di jam sibuk seperti pagi dan sore menjelang malam. Dari ASN hingga pengamen, dari guru hingga buruh, dari polisi hingga penjual nasi, semua tumpah ruah di pemberhentian bus, apalagi kategorinya terminal tipe A seperti Purabaya.
Di depan laptop seharian memang terasa cepat ketika kerjaan mengejar deadline. Hingga raga ini pun kembali lagi ke terminal awal, Purabaya. Lengkapnya destinasi dan tujuan, membuat para penumpang lebih memilih ke terminal, daripada harus ke agen bus atau pool. Beragam pilihan kelas, lengkap! Dari kelas teri hingga kelas kakap. Jauh dekat juga tersedia. Berbeda dengan stasiun kereta yang kini lebih rapi dan tertib, terminal yang berada di perbatasan Sidoarjo dan Surabaya ini masih terkesan kumuh dan amburadul. Meskipun bangunannya sudah keren, namun pemeliharaannya kurang kaopen (jawa:terawat).
Pedagang asongan memang “berizin”, terpantau sudah mengenakan seragam. Namun, tidak berlaku bagi pekerja seni alias pengamen, bejibun. Bahkan anak dibawah umur pun mudah dijumpai, kemana kira-kira KPAI? Koar-koar kalau ada yang viral di tivi. Coba sekali-kali datang ke sini, Purabaya. Tak semua pengamen memiliki semangat yang sama. Entah nunggu gilirannya tiba, atau sedang ingin menyendiri, pemuda paruh baya itu bersandar pada tiang penyangga tangga koridor kelir orange.
Persis di bawah anak tangga, duduk tanpa alas, dengan telanjang kaki dengan posisi badan setengah berbaring. Dua kakinya berselonjor menyilang, tampak ukulele berwarna coklat kusam berada di samping kakinya, menempel pada penyangga tangga di depannya. Dia tampak asyik bermain handphone, geser atas ke bawah, tanpa menghiraukan sekelilingnya. Rambutnya ikal, memakai kaos oblong warna hitam, ditambah celana bahan jeans yang sobek sana sini. Gawai yang dipegangnya tampak bergaris vertikal, seperti layarnya sudah tak berfungsi semestinya. Tiga puluh menitan pemuda itu bermain gawai, dengan keterbatasan tampilan layarnya. Aku yang diam-diam mengintip, tak paham apa yang sedang ditonton. Terlalu banyak garis yang menghalangi.
Perjalanan hari ini pun selesai, tapi tidak benar-benar usai. Aku turun, melangkah, membawa pulang serpihan cerita orang-orang yang tak sempat menulis. Mungkin begini rasanya menjadi saksi tanpa panggung: mengamati, mendengar, merekam, dan diam-diam belajar tentang keberanian yang tak bersuara. Cerita itu abadi dan layak untuk dituliskan.
Purabaya, 06 Agustus 2025
![]() |
Lelah naik turun bus, pemuda ini beristirahat sambil bermain gawai |
![]() |
Melompong di jam sibuk, suasana Suroboyo Bus di sore hari |
![]() |
Apapun jenis moda transportasinya, mereka akan "setia" menunggu penumpang |
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi www.besongol.xyz
Untuk saran dan kritik perbaikan sangat terbuka. Silahkan tinggalkan komentar