Langsung ke konten utama

Angkot, nasibmu kini...

Jakarta terik hari ini. Pagi hari matahari sudah cukup menyengat, meskipun semalam gerimis mendera ibukota. Angin bertiup cukup kencang, cukup untuk menggoyang daun dan jemuran di pelataran.

Cuaca cukup mudah berubah, pagi terik menjelang siang hujan turun. Sorenya cerah kembali merekah, tak jarang ketika malam, tiba-tiba hujan dengan intensitas lebat. Begitu kira-kira cuaca sebulan belakangan.

Mengawali Ramadhan yang cerah ini, menyempatkan ke bengkel motor, untuk merefresh kerja mesin motor dan memperbaiki performanya, namanya juga motor butut he.he.he.

Sembari menunggu motor dalam perawatan atau under maintenance, tetiba sekelebat dalam pandangan mobil angkot yang kondisinya cukup memprihatinkan, bopeng di sana-sini, seolah tak terawat.

Melihat kondisi fisiknya saja sudah tak tega, bagaimana kalau kita jadi salah seorang penumpangnya? Was-was kali ya? Khawatir ditengah perjalanan mogok dan tak mampu melanjutkan ke tempat tujuan. Amsyong dah!

Merawat mesin dan fisiknya untuk angkutan umum adalah hal yang wajib, tak bisa ditawar, karena menyangkut nyawa penumpang. Yang miris adalah kondisi angkot di Ibukota yang sekilas tak layak jalan. Masih kalah "tampilan" dengan kendaraan umum yang lebih ramah lingkungan, Bajaj! Kini bahan bakarnya gas atau BBG.

Belum lagi bersaing dengan ojek online yang kini merajalela. Sudah kinclong, servicenya juga patut diacungi jempol, langsung ke TKP alias ke tujuan. Secara harga memang lebih mahal, namun kecepatan, ketepatan dan kenyamanan sudah menjadi tuntutan.

Angkot atau Mobil Penumpang Umum (MPU) pernah jaya dijamannya. Penumpang berjubel, jumlahnya tak banyak, itulah sebabnya angkot digemari di era tahun 80'an hingga awal milenium. Bak primadona yang bisa seenaknya menolak calon penumpang, dan itu saya rasakan ketika masih berseragam putih abu-abu. 

Kini keadaan berubah drastis, jangankan berharap mobil penuh penumpang, bisa mengangkut lima orang saja dalam satu trip, adalah keberuntungan! 

Dari pengamatan selama sekitar dua jam, lalu lalang angkot tak ada yang penuh, hanya berisi satu atau dua orang saja. Bahkan, tak jarang terlihat kosong melompong! Bagaimana cara menutupi biaya yang dikeluarkan, jika pendapatan harian saja tidak menentu? Bisa jadi subsidi silang, atau sering-sering ambil trayek carteran atau sewa. 

Ambil penumpang yang lagi kulakan di pasar atau mengangkut ondel-ondel ke daerah pinggiran kota? Bisa jadi, yang penting bisa bertahan dan cari makan.

Semoga bapak-bapak sopir angkot selalu diberikan kesehatan dan rejeki barokah, kalau perlu dipertimbangkan jadi driver online-an. Aamiin

Sudah ah, motor udah kelar di servis, terima kasih sudah mampir ke rumah blog saya 😀




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Perjalanan yang tak pernah usang

Hamdalah , bisa kembali beraktivitas di tanah kelahiran. Diberi kesempatan untuk menikmati ibukota Jakarta, tak dimiliki semua pekerja profesional (red: karyawan). Genap lima tahun, akhirnya “dikembalikan” ke East Java , kalau kata orang “ Jowo Wetan ” alias Jawa Timur. Masih segar diingatan, ketika teman-teman di pabrik melepas kepergianku ke kantor pusat, sedih. Namun yang pasti kami selalu mendoakan yang terbaik satu sama lain.  Tawaran yang ku terima dari manajemen, adalah bagian dari restrukturisasi organisasi. Ya beruntung masih ditawari, daripada tanpa pekerjaan. Prosesnya memang tak mudah, tapi bersyukur, akhirnya restu itu ku terima, setelah hampir setahun penantian. Meskipun dalam hati bergumam, “semakin lama ditunda, semakin bagus pula”, toh ya aku masih bekerja di tempat yang sama. hehehe Kata orang, setiap pilihan itu mesti ada rasa “sakitnya”, tergantung masing-masing orang menerjemahkannya. Termasuk aku yang saat itu galau tingkat dewa. Menuju Jakarta, meninggalkan ...