Langsung ke konten utama

Piknik dan Olahraga di Hutan Kota Terbesar di Kota Malang


Pagi ini Malang hawanya semriwing, bahkan sejak semalam. Ditambah anginnya yang cukup kencang, merontokkan dedaunan tanaman di depan rumah. Meskipun Agustus adalah puncak kemarau, namun fakta di lapangan, hujan masih saja turun dari intensitas ringan hingga sedang.  Hujan tak merata ini, sudah cukup mendukung hawa anyeb di Kota Pendidikan. Kemarau tak selalu kering kerontang.

Salah satu cara terbaik untuk melawan dingin pagi ini ya tentu saja berjemur. Beruntung mentari pagi ini cukup terik, dengan mendung tipis menggantung di atas langit. Mumpung pada off di weekday dari rutinitas, spontan aku mengajak keluar bocil dan emaknya. Tak jauh-jauh, kami meluncur ke Lapangan Rampal

Anak wedok memilih mengenakan sepatu dengan kaos kaki panjang, menutup hingga persis di bawah lutut. Sepatu putihnya itu menantang warna kaos kakinya yang kontras, merah menyala! Lucunya dia menggunakan daster tanpa lengan. Emaknya langsung komplain, "Sebentar ku ambil jaket" ucapnya. "Resiko, nanti masuk angin, mana kenceng anginnya" tutupnya. 

Aku hanya diam dan meng-iya-kan saja. Tampil beda dari Kakak, Emak dan Bapaknya. "Udah mirip Korean Girl, kamu Dek" sambung emaknya sembari naik kendaraan. Bangun tidur tak langsung cuci muka, namun ambil sisir, merapikan rambutnya yang acakadul. Miring ke kanan ke kiri, sambil ngaca. Gayanya sudah mirip emaknya. "Dasar anak wedok!" gumamku.

Lapangan Rampal

Tak seramai weekend, pagi ini terasa cukup lengang, meskipun tampak beberapa warga yang sedang asyik jogging, jalan santai, tenis, hingga berlari sprint mengelilingi lapangan yang berada di kompleks militer ini. Maklum hari ini awal dari aktivitas mingguan, Senin. Mayoritas pengunjung adalah lansia dan kelompok pemuda dengan badan atletis yang mungkin mereka adalah olahragawan. Muda-mudi dengan postur tegap dan kulit yang sedikit legam, tampak berkeringat setelah berlari mengitari lapangan yang berada di Kota Malang ini.

Jam menunjukkan pukul 09:30, waktu yang tepat untuk berjemur di tengah cuaca yang sedikit redup. Sementara bocil dan emaknya sedang asyik main di area playground, aku coba menyisir sekitaran lapangan yang berada di perempatan strategis penghubung Kota Malang dan Kabupaten Malang. Dulunya, lapangan ini tak seramai sekarang, paling banter digunakan untuk menggelar konser musik. Namun, seiring perkembangan kota dingin ini, Rampal menjelma menjadi kawasan militer, ekonomi dan pusat olah raga.

Rampal kian menjadi primadona bagi para atlet muda untuk berlatih, setelah berbagai cabor difasilitasi di sini. Sebut saja kolam renang, lapangan tenis, basket, volly dan tentunya sepakbola. Terbaru, ada plang yang terpasang bahwa di sini juga akan dibangun arena untuk skate board, yang berarti akan menambah fasilitas olahraga di lapangan kebanggaan warga Kota Malang.

Sejak "terbuka" untuk umum, lapangan ini mulai dikenal sebagai sentra ekonomi UMKM. Setiap sore hari hingga malam menjelang, jalan sisi selatan lapangan dimanfaatkan para pedagang kecil untuk berjualan. Mulai dari makanan ringan, berat dan arena bermain. Tempat yang cukup ramah untuk putra putri Anda dari berbagai usia.

Berbagai wahana menarik tersedia di sini

Ingin jalan santai di siang hari? Jangan khawatir takut gosong, karena di lapangan Rampal ini juga ramah pohon. Ruang terbuka hijau terluas di Kota Malang, ya ada di sini. Pepohonan tinggi menjulang cukup rapi di sini, terpantau beberapa ranting pohon selesai di rapikan, tanpa mengurangi kesan estetik dan jauh dari kata gersang. Pepohonan ini melingkar, mengitari seluruh area lapangan. Bahkan di area pedestrian, terdapat akasia dan mahoni yang saling menjulur mirip lorong kehidupan yang menenangkan. Kesan teduh begitu terasa di sini. 

Arena bermain anak berbayar alias playground juga buka dari pagi hingga malam. Tersedia berbagai wahana anak seperti seluncuran, trampolin, hingga sepeda angin ada di sini. Berdampingan dengan playground, ada wahana outdoor seperti flying fox, jungkat-jungkit, ayunan dan rumah pohon! Ciamik bukan? Rumah pohon ini cukup unik dan menarik, terhitung satu, dua, tiga rumah pohon berjajar di antara pohon besar. Lantas bagaimana untuk bisa menjangkaunya? Tenang, ada anak tangga di setiap rumah pohon, jadi tak perlu bersusah payah memanjat pohon! hehehe

Setiap sore hari ada juga wahana bermain rumah raksasa. Arena permainan ini ada di antara pepohonan rimbun di Rampal. Tapi tenang, sudah dilengkapi dengan musik latar dan penerangannya juga cukup mumpuni. Dijamin, putra putri Anda betah berlama-lama bermain di sini. Bosan bermain di rumah balon raksasa, bisa mencoba permainan motor trail mini, yang tak perlu pegang SIM untuk berkendara. Ada juga mobil listrik remote yang siap memanjakan si Kecil. 

Menikmati pedestrian

Lorong teduh yang melingkar di Rampal, membuat matahari tak benar-benar mampu menembus rimbunnya dedaunan. Sepanjang itu pula, pedestrian berputar mengelilingi luasnya lapangan. Pavingisasi juga cukup memadai, hanya beberapa titik saja yang terlihat tak merata, karena seperti difungsikan sebagai pintu "darurat". Menariknya di sepanjang track, terdapat meter pengukur jarak, bahkan setiap sepuluh meter ada semacam "prasasti" di sepanjang jalur pedestrian. Bonusnya ya melihat secara langsung berbagai instrumen latihan militer yang ada di sini.

Berkat rindangnya pepohonan di sini, beberapa titik dimanfaatkan oleh PKL untuk "mangkal", menjajakan barang dagangan. Mulai dari pedagang kopi keliling, buah segar siap santap, bubur ayam, bakso, dan aneka jajanan lainnya. Rata-rata menggunakan rombong, bersepeda. Ada juga taksi online yang sedang menunggu pesanan pelanggan, berjajar mengular, dari plat lokal hingga luar kota. Sembari menunggu calon penumpang, mereka bisa sejenak bersantai sambil memesan kopi, menikmati musik yang di geber cukup kencang di salah satu kedai kontainer yang berjajar memanjang jalan.

Di tengah semilir angin dan riuh tawa bocil, aku menyadari bahwa: Rampal bukan hanya tempat olahraga. Ia adalah titik temu, ruang tumbuh dan ruang bersosialisasi. Di sini, Malang tak melulu tentang dingin yang menggigil, tapi juga hangat oleh kehidupan yang terus bergerak, menyatu dalam harmoni antara manusia, alam dan derap waktu.

~Aku, rampal, dan keluarga kecil~

Malang, 08 September 2025 




Unik, rumah pohon yang ada di sudut Lapangan Rampal

Arena Lapangan Volly Pantai

Bukan benteng Takeshi, ini adalah sarpras militer untuk latihan

Hutan kota yang meneduhkan di pojok Rampal

Papan meter Arena Jogging dan Jalan Santai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bali The Last Paradise

Hari pertama, langsung gas. Tak kendor sedikitpun meski mata terasa berat. Kantuk melanda sebagian peserta. Efek berangkat dini hari, bahkan rombongan flight pertama (jam 05:00) sudah stand by di bandara Soetta sejak pukul 03:00 dini hari! Hebat bukan? Ya, peserta harus berada di titik kumpul sesuai arahan dari travel agent dua jam sebelum pesawat lepas landas. Hal ini untuk mempermudah baik panitia, agen perjalanan dan peserta koordinasi, dan pastinya tak ketinggalan pesawat!  Berangkat di pagi buta memang tak mudah bagi sebagian peserta (termasuk saya pribadi hehehe ). Dibutuhkan kemauan, semangat dan tekad yang luar biasa untuk bangkit dari tempat tidur, bersih badan alias mandi dan gosok gigi, jangan lupa pakai baju dan semprot parfum yang wangi! 😂 Beruntung itinerary sudah di share komite dari jauh hari. Jadi tak perlu bingung dan bimbang, bawaan yang “wajib” dibawa pada saat workshop berlangsung pun sudah lengkap diinformasikan, termasuk kebutuhan pribadi seperti obat-o...

Balada Pejuang Bus Antarkota

Pasutri itu tiba-tiba menepi, persis di bawah JPO. Awalnya kukira mereka hanya berdua, ternyata si kecil nyempil di boncengan tengah. Hujan memang tiba-tiba turun dengan derasnya, disertai angin yang juga cukup kencang. Laju kendaraan tertahan, tak bisa melaju secepat biasanya. Puncak jam “sibuk” Kota Pahlawan. Lima menit, sepuluh menit, hujan semakin menjadi. Keluarga kecil nampak bingung, mencari tempat yang nyaman untuk putranya. “Duduk saja di situ Bu, ada tempat kosong” Aku berseloroh. Sembari menggiring anaknya, “Iya, terima kasih Pak” sambil berlalu.  Membuntuti dibelakang si Bapak, sambil menenteng keresek tanggung warna putih, lengkap dengan kotak makanan warna cokelat, bertumpuk dua. Motor yang ditumpanginya pun dibiarkan tergeletak begitu saja, di tepi jalan, di bawah jembatan penyeberangan orang. “Di sana kering, nggak ada hujan, di sini langsung deras” Pungkasnya sambil menuding ke arah jalur yang dia lalui. Aku tersenyum, “Ya memang cuaca akhir-akhir ini mirip tahu bu...

Bekal yang Tertinggal, Hati yang Pulang

Nasi bungkus Pagi masih belum disapa mentari sempurna, masih gelap, redup, sepi. Namun, jalan sudah basah, padahal semalam tak turun hujan. Persis di tikungan jalan keluar kampung. Ternyata penjual nasi-lah yang menyiram. Memang tepat di belakangnya mengalir sungai yang cukup jernih dengan debit air yang melimpah. Meskipun sudah memasuki kemarau, tapi hujan tak pernah sungkan untuk datang. Orang bilang saat ini sedang “kemarau basah”. Kadang untuk memilih nama saja, kita kesulitan. Jangankan hati, bahasa saja orang tak sanggup menerjemahkan!  Pagi ini terburu-buru untuk berangkat, tapi setidaknya aku masih bisa menikmati sunyinya Subuh. Emakku sedang asyik mengajakku ngobrol, sampai lupa bahwa elf yang akan membawaku ke kota pahlawan, lima menit lagi akan berangkat.  Arloji yang melingkar di tangan kiriku seolah tak kenal kompromi dengan waktu. Tak pernah molor, tak juga dipercepat, pas! Arloji tak pernah ingkar janji, kecuali baterainya minta ganti atau waktunya diisi.  ...